[Flash Fiction] Taksi

taksi+taksijono

credit

 

Roda taksi berhenti di depan rumah tua dengan warna cat dinding yang mulai memudar. Dua pintu besar seolah siap menjadi penerima tamu, saat Yoga turun dari taksi. Setelah meminta sopir untuk menunggunya, Yoga beranjak menuju pintu.
Lama aku tak kemari, Ibu.

Continue reading

[Flash Fiction] MFF #47 : Cerita Ranu pada Suatu Sore

Gambar

“Cinta itu candu, Lena.”

Aku diam saja, tetap menyesap cola dingin, saat Ranu mengatakannya dengan memandang sebuah wajah berdagu lancip di ponsel. “Aku bahkan ingin menjadikanya istriku,” kata Ranu setelah meletakkan punggung di sandaran kursi kayu.

“Sampai seperti itu?” tanyaku tanpa menoleh padanya. Dan aku tahu, Ranu mengangguk.

“Lalu Kayla?” tanyaku kembali, masih dengan menyesap cola. Kali ini sedikit sesapan saja. Cola yang biasanya tak pernah luput dari saku tasku, kini seperti tak memiliki pesona untuk kuteguk. Seolah tak lagi membuatku candu.

Continue reading

[Flash Fiction] MFF #44 :Tempat Perpindahan

Gambar

Malinda mempercepat larinya. Matahari sudah hampir berada di atas kepala saat dia keluar dari gerbang istana Lokmeld. Tengah hari adalah waktunya untuk kembali ke Rossmerland dan pintu Perpindahan hanya memberinya kesempatan selama tiga menit.

Ujung bawah gaun sifon berwarna kuning yang dikenakannya, sudah terlihat kotor. Mungkin karena dia hanya memakai alas kaki datar yang bergesekan dengan tanah lembek di hutan. Malinda merasakan sedikit perih di kakinya, mungkin karena perdu berduri, tapi dia abaikan. Nafasnya yang tersengal-sengal, akhirnya memaksanya untuk sebentar saja berhenti di bawah pohon dengan dahan yang penuh dengan uliran benalu.

Sebentar lagi sampai!

Setelah men

Continue reading

[Flash Fiction] MFF #40 : Ketakutan Terbesar

images“Ayolah Lusi … Sampai kapan kamu akan mengurung diri?” Rika bertanya. Aku bergeming. Semakin erat guling yang kupeluk, sambil sesekali kuusap-usap kedua telapak tanganku di paha.

“Kemana Lusi yang dulu bersemangat dan bisa mengatasi masalah terbesarmu itu?” Rika kembali bertanya dengan badan yang dicondongkan ke arahku. Cepat-cepat kumundurkan punggung beberapa senti meskipun sebenarnya tak ada lagi jarak antara punggungku dan tembok. Jantungku mulai berdebar kencang dan jemariku bergetar, tapi kusembunyikan dengan saling mengaitkannya.
Continue reading

[Flash Fiction] MFF #39 : Bakso Amanah

GambarSemoga ini cukup. Kupandangi bakso yang ada di dalam panci. Segera aku mengambil wadah dan mulai menghitung.

1, 2,  … 128, 129. Kuhentikan hitunganku. Jamaah pengajian ada 25 orang. Kalau masing-masing diisi lima bakso, berarti harusnya 125. Wah! Sisa empat. Bisa kuberikan Riris.

Aku tersenyum lega karena Riris yang masih empat tahun sudah memiliki lauk untuk besok. Tapi saat hendak beranjak, kulihat Damar yang berdiri di ambang pintu.

Ya Tuhan! Aku lupa Damar! Makan apa dia besok?

Continue reading

[Pria Kopi – 3] Berbagi

Gambar

Motor yang kamu lajukan, sekarang sudah hampir sampai di Taman Balai Kota. Setelah mendapatkan tempat untuk memarkirkan motor, kita menuju tengah taman dengan langkah yang tidak tergesa-gesa. Sebenarnya, aku tak terlalu suka di Taman Balai Kota. Karena tak ada satu pun pohon yang bisa dijadikan untuk tempat berteduh. Meskipun pemerintah kota sudah sangat bersusah payah untuk memperindah taman ini dengan menanam bunga-bunga berkelopak jingga dan kuning, serta membangun air mancur di tengah kolam yang lebar.

Tapi karena bersamamu, aku betah-betahkan saja duduk di kursi beton yang letaknya mengelilingi kolam.
Continue reading