“Ayolah Lusi … Sampai kapan kamu akan mengurung diri?” Rika bertanya. Aku bergeming. Semakin erat guling yang kupeluk, sambil sesekali kuusap-usap kedua telapak tanganku di paha.
“Kemana Lusi yang dulu bersemangat dan bisa mengatasi masalah terbesarmu itu?” Rika kembali bertanya dengan badan yang dicondongkan ke arahku. Cepat-cepat kumundurkan punggung beberapa senti meskipun sebenarnya tak ada lagi jarak antara punggungku dan tembok. Jantungku mulai berdebar kencang dan jemariku bergetar, tapi kusembunyikan dengan saling mengaitkannya.
“Lusi …” ucap Rika sambil melangkah menuju arahku, tapi urung dilakukannya. Mungkin melihat wajahku yang mulai pucat. Lantas dia kembali duduk di kursi rias. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
“Aku ingin sendiri.”
“Sampai kapan?”
Aku diam. Karena tak sabar menunggu jawabanku, Rika berdiri dan mengambil tas yang diletakkan di lantai lalu berpamitan. Tapi saat akan menutup pintu, dia memutar tubuhnya dan berkata, “Cobalah ke psikiater. Sembuhkan fobiamu itu.”
Aku mendengarkan saran Rika, tapi tak kutanam di otak. Karena setelah Rika pergi, aku segera mengambil kain bersih dan sapu yang kugunakan untuk membersihkan kursi rias dan lantai. Dan setelah kurasa bersih, berulang-ulang kucuci tanganku di wastafel.
***
Kuperhatikan papan nama yang terpasang di depan pagar. Ya, ini dia!
Sebenarnya aku ragu untuk datang ke psikiater, tapi pesan Rika tempo hari terus mendengung di kepalaku. Aku sudah lelah bertahun-tahun hidup dengan ketakutan pada kotor. Kukeluarkan tissue dari dalam tas dan menggunakannya untuk membuka pintu geser.
***
Tak butuh waktu lama untuk aku menunggu dipersilakan memasuki ruangan kerja bu Vionna. Ruang kerja yang rapi, dengan lemari tinggi berisi buku-buku tebal, sebuah sofa yang tak terlalu panjang yang berhadapan dengan sebuah kursi dengan dudukan empuk.
“Silahkan duduk,” ucap bu Vionna.
Aku tak yakin ruangan ini bersih, apalagi lemari buku itu. Pasti ada banyak debu di sana. Jantungku berdebar semakin kencang. Kembali kukeluarkan tissue dari dalam tas dan menggunakannya sebagai alas duduk di sofa.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya bu Vionna yang kini duduk berhadapan denganku.
“Tolong bantu hilangkan fobia saya, Bu.”
“Ketakutan pada sesuatu yang menurut Anda kotor?” tanyanya. Aku mengernyitkan alis. Kok bisa dia tahu?
“Saya perhatikan Anda ragu untuk duduk di sofa saya yang bersih. Dan Anda menggunakan tissue saat bersentuhan dengan benda-benda di sekitar Anda,” ucapnya tanpa ragu. Aku tersenyum kecut mendengar kebenaran yang bu Vionna sampaikan.
“Kita mulai dari mana?” Tanyanya sambil menyiapkan bolpoin dan buku catatan. Siap untuk mendengarkan ceritaku.
Ya, cerita tentang fobiaku, yang membuatku memilih mengurung diri di rumah dan menghindari bertemu banyak orang karena tak ingin tubuh dan bajuku menjadi kotor.
“Ceritakan, sejak kapan Anda merasa terganggu dengan kondisi Anda?”
Kuputar kembali memori jangka pendekku. Tak ada cerita di sana. Lalu kuputar memori jangka panjangku dan memasuki masa-masa SMA. Saat aku tidak disukai beberapa teman perempuan karena menurut mereka, aku tak pernah mau memberi mereka jawaban saat mengerjakan PR dan ulangan. Juga karena mereka tidak senang aku dekat dengan Tio, si ganteng yang merupakan tetanggaku. Akibatnya, sering kali mereka mendorongku di toilet belakang sekolah dan mengunciku di sana. Atau menyiramku dengan pasir sisa pembangunan gedung sekolah, yang mungkin saja bercampur dengan tai kucing.
_____
Automysophobia : fobia kotor
Tagged: automysophobia, fobia, fobia kotor, psikiater
repot banget kalau phobia sama kotor.
Saya aja ga bisa bayangin, mas. Ada dl, film jepang yg tokohnya pny fobia kotor. Kasihan sekali
Jadi, dokternya ngasih saran apa? 🙂
Pastinya sih ilangin fobianya, bang 🙂
Tapi kan dari terapi 🙂
i wish i can read the rest of the story… 🙂
Jadi ingat, ada orang yang kalau mau jabat tangan dengan orang lain harus pakai sarung tangan… :O Apa fobia ini juga ya?
Mungkin ya. Tapi tak semua orang yang tak suka sesuatu itu dikatakan memiliki fobia. Mungkin, yg dikatakan mas itu hanya sebatas dy menjaga kebersihan? Entahlah 🙂
Iya benar, mungkin juga ya mbak :O
Dulu, saya kira saya fobia kucing. Kl liat kucing langsung lompat. Nyatanya, sekarang baik2 saja. Sepertinya saya hanya takut dan jijik saja. Kira-kira seperti itulah yang dikatakan mas tadi 🙂
dulu pernah baca novel indo, orangnya itu maunya bersih mulu. harus pakai pakaian dalam disposable segala. sama gak ya phobianya?
Mungkin. Tapi yang pasti, fobia itu muncul karena ada sebab kuat di masa lalu. Seperti trauma. Apa di novel itu disebutin traumanya?
Lupa saya. Dah lama bacanya.
Rempong badai ya kalo punya phobia yang satu ini.
Betul mak, gak kebayang dia kemana-mana harus steril
Duh….padahal kan seru main kotor2an *halah, OOT pisan* hihihi
Memang seru mbak main kotor. Kasihan ya…
Mungkin sebagian besar alasan phobia itu dari trauma kali ya Mbak? *sok menganalisis 😀
yang saya baca sih seperti itu, mbak 🙂
web ini emang bener keren
baru tahu ada phobia kotor
Hihi, saya sudah tau lama, mbak 🙂
hiii…. pasir itu bisa jadi kecampuran tai kucing…. bauuu… kotor… hiiiii….
Hihi, makanya kotor :)))
Ya Allah, kasihan ya ….. #eh kok kayak beneran
Kasihan mmg, mbak. Pasti susah hidup dg fobia
Kalo punya pembantu gitu pasti seruu,.. rumah jadi kinclong 😆
Kayaknya karena dari kecil suka dimarahin waktu main kotor-kotoran nih. Berani kotor itu baik kok.
Berani kotor itu mmg baik kok, mas 🙂