Motor yang kamu lajukan, sekarang sudah hampir sampai di Taman Balai Kota. Setelah mendapatkan tempat untuk memarkirkan motor, kita menuju tengah taman dengan langkah yang tidak tergesa-gesa. Sebenarnya, aku tak terlalu suka di Taman Balai Kota. Karena tak ada satu pun pohon yang bisa dijadikan untuk tempat berteduh. Meskipun pemerintah kota sudah sangat bersusah payah untuk memperindah taman ini dengan menanam bunga-bunga berkelopak jingga dan kuning, serta membangun air mancur di tengah kolam yang lebar.
Tapi karena bersamamu, aku betah-betahkan saja duduk di kursi beton yang letaknya mengelilingi kolam.
Aku duduk, kemudian meletakkan tasku di samping pantat. Tanpa kamu duduk, kamu sudah pergi dari hadapanku. Kuikuti arah jalanmu, ternyata menuju penjual siomay di luar taman dan mengunjungi penjual es campur di sebelah penjual siomay. Kutinggalkan pandanganku dari sosokmu, lantas kusibukkan mataku dengan status-status teman-temanku di BBM.
“Yuk, makan ini,” ajakmu setelah kamu kembali dengan membawa sepiring siomay. Tak lama, penjual es campur menyusul dengan membawa dua mangkuk, lantas meletakkannya di dekatku.
“Kok hanya sepiring?” tanyaku.
Kamu tersenyum. “Kamu kan habis makan di kantin tadi.”
Aku terkekeh. Ternyata kamu memperhatikanku saat aku kembali dari kantin bersama Yuan dan Melati. “Jangan lupa kalau aku ini alumni kampusmu, Dyah,” ucapmu dengan mengunyah potongan sayur pare.
“Lalu, kenapa es campur ini ada dua mangkuk?” tanyaku, seolah absurd.
Kembali kamu tersenyum. Aku ikut tersenyum sambil berucap, “Jangan-jangan kamu tak ingin nantinya bekas bibirku mengenai bibirmu?”
Kali ini kamu tertawa, keras sekali. Lalu pura-pura memukulku dengan ujung garpu yang basah karena saus kacang.
“Mungkin, lebih tepatnya, karena aku ingin bagi-bagi rezeki,” jawabmu berkilah. Aku memincingkan mata, tak mengerti maksudnya.
Kamu ternyata mengerti kalau aku tak memahami maksud dari kalimatmu. “Tahukah kamu kalau penjual es campur itu sudah ada di sini sejak aku masih SMP?”
Kugelengkan kepalaku, kemudian kembali mendengarkan ceritamu dengan serius. “Dan sejak dulu, dia tetap berjualan di sini. Tak pindah di tempat lain, tak berganti berjualan yang lain, juga tak ganti gerobak,” katamu.
“Dan dia masih juga memakai pakaian yang sama selama bertahun-tahun. Dan membuat sobek di bagian belakangnya.” Kamu melanjutkan ceritamu, kali ini dengan menyeruput es campur sambil memandang ke arah penjual es campur.
Aku ikut-ikutan memandang penjual es campur itu. Ya, baju yang dia kenakan tampak sudah pudar warnanya, meskipun tampak bersih.
Maniiis,semanis es campur ya…
dan mari kita habiskan es campurnya 🙂
Romatisnya
Baju penjual es campur 6 tahun nggak ganti2 ? Awet ya ha ha ha
Salam hangat dari Surabaya
Baju yang ngga ganti terinspirasi dari baju penjual es campur di dekat rumah saya, pakdhe. Mari ke rumah, nanti saya tunjukkan 🙂
deuh kebayang waktu sama suami etrcinta dulu, makan siomay sepiring berdua, asyikk, jadi kepengen!
hayhay, terbayang masa lalu ini ceritanya?
Bukannya baju ga ganti-ganti, tapi mungkin dia bajunya selemari sama semua :))))))
Kayanya sih gitu, mbak.. hihi,
Maaf, tidak spam ya :p
terima kasih 🙂